Rokok, Negara, dan Kemunafikan
Setiap kali bicara soal bahaya rokok, kita selalu disuguhi pemandangan yang sama: iklan layanan masyarakat tentang kanker paru-paru, larangan merokok di ruang publik, peringatan besar-besar di bungkus rokok dengan gambar menyeramkan, dan wacana kesehatan yang disampaikan seolah-olah rokok adalah akar segala keburukan di dunia ini.
Mari kita tarik napas panjang dan lihat ke sekeliling secara nyata, bukan hanya dari lembar laporan statistik. Di banyak kampung, kita melihat orang-orang yang sudah puluhan tahun merokok tetap sehat, bugar, dan aktif. Sementara itu, tidak sedikit non-perokok yang justru terbaring lemah oleh berbagai penyakit yang bahkan tak ada hubungannya dengan rokok.
Ini bukan pembelaan terhadap rokok dan perokok. Ini bukan glorifikasi. Tapi ini juga bukan tentang membabi buta menerima narasi yang disodorkan oleh masyarakat, negara, industri kesehatan, atau kampanye global yang seringkali sarat kepentingan.
Rokok memang bukan benda suci. Tapi menjadikannya kambing hitam untuk semua masalah kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti pola makan, stres, kualitas tidur, polusi, atau akses terhadap layanan kesehatan, itu adalah bentuk kemalasan intelektual. Bahkan lebih jauh dari itu: kemunafikan.
Negara dan Kepentingan Ganda
Yang paling mencolok dari semuanya adalah bagaimana negara memainkan peran ganda yang sangat memalukan. Di satu sisi, negara menggelontorkan dana besar untuk kampanye anti-rokok, menaikkan cukai, dan memberi label "pembunuh" pada rokok. Tapi di sisi lain, negara mengandalkan pemasukan dari cukai rokok sebagai salah satu sumber utama APBN.
Untuk tahun 2025, target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai lebih dari Rp220 triliun. Itu bukan angka kecil. Dana itu digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, hingga subsidi pendidikan.
Pertanyaannya: bagaimana bisa sesuatu yang dianggap begitu berbahaya dan mematikan justru dijadikan tulang punggung keuangan negara? Bukankah itu kontradiksi yang nyata?
Dan lebih jauh lagi, mengapa negara tidak pernah serius mencari alternatif yang setara untuk menggantikan pendapatan dari cukai rokok? Bukankah ini justru memperlihatkan bahwa negara tidak pernah benar-benar ingin menghilangkan konsumsi rokok? melainkan hanya ingin mengatur dan memanfaatkannya semaksimal mungkin?
Bukan Sekadar Rokok
Seringkali kita terjebak dalam kesimpulan sederhana: perokok = sakit, non-perokok = sehat. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Kesehatan manusia dipengaruhi oleh puluhan bahkan ratusan faktor, mulai dari genetik, lingkungan, aktivitas fisik, pola makan, sampai kondisi psikis.
Banyak perokok yang bekerja sebagai petani atau buruh kasar, mereka bergerak aktif setiap hari, terpapar sinar matahari, mengonsumsi makanan alami tanpa pengawet atau olahan berlebihan, dan memiliki relasi sosial yang sehat. Bandingkan dengan orang yang tidak merokok, tapi menghabiskan hari-harinya duduk di balik meja, menghirup udara AC, makan cepat saji, tidur tidak teratur, dan dicekik stres.
Dalam konteks ini, rokok bukan lagi faktor tunggal yang menentukan apakah seseorang akan sakit atau sehat. Tapi kita terus saja dipaksa untuk percaya bahwa rokok adalah biang segalanya, sementara aspek lain dibiarkan berlalu tanpa perhatian berarti.
Kampanye yang Bias dan Tak Seimbang
Kita jarang melihat kampanye yang menyerang makanan cepat saji, junkfood, konsumsi gula berlebih, stres kerja berlebihan, atau polusi udara dari kendaraan bermotor. Padahal semuanya terbukti membawa dampak besar terhadap kesehatan masyarakat. Tapi yang disorot, dicerca, dan dipajang di setiap pojok ruang publik selalu satu hal: rokok.
Apakah karena lebih mudah menyalahkan minoritas yang lemah dan terpinggirkan? Apakah karena industri makanan dan kendaraan terlalu kuat untuk disentuh? Atau karena kampanye anti-rokok jauh lebih menguntungkan secara politis dan simbolis?
Di sinilah letak kemunafikan yang paling menyakitkan. Kita mencaci rokok, tapi diam saat negara membiarkan masyarakat dicekoki makanan sampah. Kita meneriakkan bahaya asap rokok, tapi membisu melihat langit dipenuhi karbon dan emisi kendaraan. Kita kampanyekan hidup sehat, tapi membiarkan tekanan mental dari sistem kerja tidak manusiawi yang terus menghantui generasi.
Saatnya Bicara Jujur dan Seimbang
Sekali lagi, ini bukan pembelaan untuk merokok. Tapi ini adalah seruan untuk bersikap jujur dan berpikir jernih. Kalau memang negara serius ingin menyelamatkan kesehatan masyarakat, maka pendekatannya harus utuh dan seimbang, tidak pilih kasih, tidak munafik, dan tidak menjadikan satu hal sebagai kambing hitam demi kepentingan politik atau fiskal.
Jika rokok memang berbahaya, maka hadapi kenyataan itu dengan keberanian: hentikan produksi tembakau, hentikan izin pabrik rokok, dan carilah sumber pendapatan negara yang lebih etis. Tapi jika negara tetap bergantung pada cukai rokok, maka setidaknya berhentilah bersikap seolah-olah rokok adalah dosa besar yang layak disalib setiap hari.
Kita berhak untuk hidup sehat. Tapi kita juga berhak untuk mendapat informasi yang jujur, kebijakan yang konsisten, dan narasi yang adil. Perlu ada kejujuran intelektual. Rokok memang memiliki dampak buruk terhadap kesehatan, itu fakta ilmiah. Tapi membebani semua dosa kesehatan publik kepada perokok, sambil terus menyedot miliaran rupiah dari kantong mereka, adalah bentuk kemunafikan sistemik yang terorganisir.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap bahaya rokok, tapi kita juga tidak boleh membutakan diri terhadap kemunafikan yang terorganisir di balik regulasi dan kampanye anti-rokok. Perokok bukan malaikat, tapi mereka juga bukan kambing hitam yang layak terus diperas dan dicaci. Kita butuh narasi yang lebih adil, kebijakan yang lebih jujur, dan negara yang lebih berani.
agree to disagree, padahal jika pemerintah buka data jujur tentang bahaya, efek samping dan korban nyawa yang disebabkan gula lebih besar ketimbang bahaya rokok. kampanye bahaya gula dan diabetes ga terlalu tu selain iklan produk gula itu sendiri.
ReplyDeletebut, tulisan yang renyah, go ahead bro